Selasa, 07 Januari 2014

PROBLEMATIKA SENTRALISASI DAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN


Makalah Kelompok
Dipresentasikan dalam Forum Seminar Kelas Mata Kuliah
Isu-Isu Pendidikan Kontemporer Konsentrasi PK PAI
Semester III Tahun Akademik 2013/2014


Oleh:
1. Suparman Toaha                   : 80100212143
2. Suriati Dullah                               : 80100212144
3. Suryanagara                         : 80100212145
4. Sarief Taki                           : 80100212146
5. Wardana Razak:                   : 80100212147
6. Zulkarnain  Mansyur                     : 80100212148


Dosen Pemandu
Prof. Dr. H. Bahaking Rama, MS.
Dr. H. Syahruddin Usman, M.Pd.
                
PROGRAM PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2013
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Reformasi pendidikan melalui pelaksanaan desentralisasi pendidikan dalam rangka otonomi daerah yang telah berjalan beberapa waktu ini telah menentukan sosok dan kinerja sistem pendidikan nasional di masa akan datang. Tujuan utama reformasi pendidikan adalah membangun suatu sistem pendidikan nasional yang lebih baik, lebih mantap, dan lebih maju dengan mengoptimalkan serta member­dayakan potensi daerah dan faksi-faksi masyarakat lokal. Sebab pendidikan merupakan struktur pokok yang memberikan fasilitas bagi warga masyarakat untuk bisa menentukan barang dan jasa yang diperlukan.[1] Bahkan secara makro, pendidikan merupakan jantung sekaligus tulang punggung masa depan bangsa dan negara.[2]
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa keberhasilan suatu bangsa sangat ditentukan keberhasilan dalam memperbaiki dan memperbarui sektor pendidikan. Dengan begitu, pendidikan tersebut dilakukan manusia dalam rangka memperbaiki dan meningkakan taraf  hidupnya melalui proses pendidikan.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, melalui proses pendidikan diharapkan manusia menjadi cerdas atau memiliki kemampuan yang biasa dikenal dengan istilah skill dalam menjalani kehidupannya.[3] Fakta tersebut kemudian berkembang dalam masyarakat sekarang yang akhirnya menuntut pendidikan untuk terus melakukan pembenahan. Melalui pembenahan tersebut akan terwujud tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan.
Dalam era otonomi pendidikan dan paradimgma baru pendidikan mengantarkan lembaga pendidikan pada arah baru dengan perubahan pada fenomena penataan kembali sistem pendidikan nasional yang sentralistik menuju pada suatu sistem yang memberikan kesempatan luas  kepada inisiatif masyarakat setempat bahkan pengelolaan pendidikan  yang semula berpusat pada pemerintahan pusat mulai dari yang bersifat mikro, messo, maupu makro beralih pada pengelolaan pendidikan pada pola manajemen lembaga pendidikan dimana lembaga pendidikan tersebut berada yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah.[4]
Dalam era reformasi dewasa ini, diberlakukan kebijakan otonomi daerah yang seluas-luasnya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi daerah merupakan distribusi kekuasaan secara vertikal. Distribusi kekuasan itu dari pemerintah pusat ke daerah, termasuk kekuasaan dalam bidang pendidikan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah di bidang pendidikan tampak masih menghadapi berbagai masalah. Masalah itu di antaranya tampak pada kebijakan pendidikan yang tidak sejalan dengan prinsip otonomi daerah dan masalah kurangnya koordinasi dan sinkronisasi. Kondisi yang demikian dapat menghadirkan beberapa hal, seperti: kesulitan pemerintah pusat untuk mengendalikan pendidikan di daerah; daerah tidak dapat mengembangkan pendidikan yang sesuai dengan potensinya. Apabila hal ini dibiarkan berbagai akibat yang tidak diinginkan bisa muncul. Misalnya, kembali pada kebijakan pendidikan yang sentralistis, tetapi sangat dimungkinkan juga daerah membuat kebijakan pendidikan yang dianggapnya paling tepat meskipun sebenarnya berseberangan dengan kebijakan pusat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka yang menjadi pokok permasalahan untuk dijadikan kajian utama dalam makalah ini adalah bagaimana problematikan sentralisasi dan desentralisasi pendidikan? Untuk mengkaji pokok permasalahan tersebut maka penulis merinci ke dalam beberapa submasalah yaitu:
1. Bagaimana konsep dasar tentang sentralisasi dan desentralisasi pendidikan?
2. Bagaimana dampak sentralisasi dan desentralisasi pendidikan ?










II. PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar tentang Sentralisasi dan Desentralisasi Pendidikan
1. Pengertian Sentralisasi pendidikan
Sebelum penulis membahas lebih jauh tentang sentralisasi pendidikan maka perlu terlebih dahulu dipahami pengertian sentralisasi itu sendiri. Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat. Daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut Undang-Undang. Menurut ekonomi manajemen sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada sejumlah kecil manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur organisasi.
Selanjutnya pengertian tentang istilah pendidikan. Hampir setiap manusia pernah mengalami pendidikan, tetapi tidak setiap orang mengerti makna pendidikan, pendidik, dan mendidik. Untuk memahami pendidikan, ada dua istilah yang dapat mengarahkan pada pemahaman hakikat pendidikan, yakni kata paedagogie dan paedagogiek. Paedagogie bermakna pendidikan, sedangkan paedagogiek berarti ilmu pendidikan.[5]
Secara estimologik, perkataan paedagogie berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogia yang berarti pergaulan dengan anak. Paidagogos adalah hamba atau orang yang pekerjaannya menmgantar dan mengambil budak-budak pulang pergi atau antar jemput sekolah. Perkataan “paida” merujuk kepada kanak-kanak yang menjadikan sebab mengapa sebagian orang cenderung mmembedakan antara pedagogi (mengajar kanak-kanak) dan andragogi (mengajar orang dewasa)[6]
Pendidikan bukan hanya kegiatan mentransfer ilmu, teori dan fakta-fakta akademik semata; atau bukan sekedar urusan ujian, penetapan kriteria kelulusan serta pencetakan ijazah semata. Pendidikan pada hakekatnya merupakan proses pembebasan peserta didik dari ketidaktahuan, ketidakberdayaan, ketidakbenaran, ketidakjujuran, dan dari buruknya akhlak, hati, dan keimanan.
Oleh karena itu, pendidikan tidak boleh menjadikan manusia asing terhadap dirinya dan asing terhadap hati nuraninya. Pendidikan tidak boleh melahirkan sikap, pemikiran, dan perilaku semu. Pendidikan tidak boleh menjadikan manusia berada di luar dirinya.[7]
Pendidikan yang sifatnya sentralisasi akan mendekatkan peserta didik asing bagi dirinya dan hati nuraninya. Hal tersebut disebabkan karena peranan guru yang seharusnya dilaksanakannya tetapi diambil alih oleh pusat. Misalnya mengenai penentuan kurikulum sendiri di daerah masing-masing, tetapi dalam sentralisasi dialihkan semuanya ke pusat untuk mengaturnya. Inilah yang menyebabkan keasingan peserta didik terhadap dirinya.
Oleh karena itu, maka perlu diwujudkannya desentralisasi pendidikan sehingga kewenangan pusat bisa didelegasikan kepada daerah untuk mengurusnya sendiri sesui dengan kondisinya. Hanya saja tidak berarti bahwa pemberian kewenangan itu adalah kemenangan bagi daerah untuk mandiri secara total tanpa memperhatikan instruksi yang bersifat koordinatif dari pusat.
Dengan perkataan lain apabila kebijakan pendidikan dalam konteks otonomi daerah tidak dilakukan upaya sinkronisasi dan koordinasi dengan baik, tidak mustahil otonomi tersebut dapat mengarah pada disintegrasi bangsa. Dalam kondisi demikian diperlukan cara bagaimana agar kebijakan pendidikan di daerah dengan pusat ada sinkronisasi dan koordinasi. Juga perlu diusahakan secara sistematis untuk membina generasi muda untuk tetap memiliki komitmen yang kuat dibawah naungan NKRI.
2. Pengertian desentralisasi pendidikan
Desentralisasi di Indonesia sudah ada cukup lama, dimulai sejak tahun 1973, yaitu sejak diterbitkannya UU Nomor 5 Tahun 1973 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah otonomi dan pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pusat dan daerah. Dan terdapat pula pada PP No. 45 tahun 1992 dan dikuatkan lagi melalui PP Nomor 8 Tahun 1995. Menurut UU Nomor 22, desentralisasi dikonsepsikan sebagai penyerahan wewenang yang disertai tanggung jawab pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom. Adapun pengertian desentralisasi pendidikan ialah suatu pelimpahan kewenangan  kepada lembaga pendidikan dalam me-manage seluruh komponen pendidikannya sendiri.[8]
Beberapa alasan yang mendasari perlunya desentralisasi :
1.    Mendorong terjadinya partisipasi dari bawah secara lebih luas. Mengako­modasi terwujudnya prinsip demokrasi.
2.    Mengurangi biaya akibat alur birokrasi yang panjang sehinmgga dapat meningkatkan efisiensi.
3.    Memberi peluang untuk memanfaatkan potensi daerah secara optimal.
4.    Mengakomodasi kepentingan poloitik.
5.    Mendorong peningkatan kualitas produk yang lebih kompetitif.
Desentralisasi Community Based Education mengisyaratkan terjadinya perubahan kewenangan dalam pemerintah antara lain:
1.     Perubahan berkaitan dengan urusan yang tidak diatur oleh pemerintah pusat, secara otomatis menjadi tangung jawab pemerintah daerah, termasuk dalam pengelolaan pendidikan.
2.     Perubahan berkenaan dengan desentralisasi pengelolaan pendidikan.dalam hal ini pelempahan wewenang dalam pengelolaan pendidikandan pemerintah pusat kedaerah otonom, yang menempatkan kabupaten / kota sebagai sentra desentralisasi.
Desentralisasi merupakan kebijakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk melaksanakan dan mengurusi keperluan dirinya sendiri. Desentralisasi pendidikan di Indonesia setelah otonomi daerah memberi peluang untuk lebih cepat mengambil keputusan, meningkatkan partisipasi pelaksanaan pendidikan dan mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya pendidikan untuk memberdayakan masyarakat. Hal ini merupakan alasan krusial desentralisasi yang diprediksi memberikan manfaat bagi pengembangan sekolah.[9]
Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada orang-orang pada level bawah ( daerah ). Pada sistem pendidikan yang terbaru tidak lagi menerapkan sistem pendidikan sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah atau otoda yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan yang tadinya diputuskan seluruhnya oleh pemerintah pusat. Kelebihan sistem ini adalah sebagian keputusan dan kebijakan yang ada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat. Namun kekurangan dari sistem ini adalah pada daerah khusus, euforia yang berlebihan dimana wewenang itu hanya menguntungkan pihak tertentu atau golongan serta dipergunakan untuk mengeruk keuntungan para oknum atau pribadi.
Hal ini terjadi karena sulit dikontrol oleh pemerinah pusat. Desentralisasi pendidikan suatu keharusan rontoknya nilai-nilai otokrasi Orde Baru telah melahirkan suatu visi yang baru mengenai kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera ialah pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, hak politik, dan hak asasi masyarakat (civil rights). Kita ingin membangun suatu masyarakat baru yaitu masyarakat demokrasi yang mengakui akan kebebasan individu yang bertanggung jawab. Pada masa orde baru hak-hak tersebut dirampas oleh pemerintah.
Keadaan ini telah melahirkan suatu pemerintah yang tersebut dan otoriter sehingga tidak mengakui akan hak-hak daerah. Kekayaan nasional, kekayaan daerah telah dieksploitasi untuk kepentingan segelintir elite politik. Kejadian yang terjadi berpuluh tahun telah melahirkan suatu rasa curiga dan sikap tidak percaya kepada pemerintah. Lahirlah gerakan separatisme yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, desentralisasi atau otonomi daerah merupakan salah satu tuntutan era reformasi. Termasuk di dalam tuntutan otonomi daerah ialah desentralisasi pendidikan nasional. Ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan yaitu pembangunan masyarakat demokrasi, pengembangan sosial capital, dan peningkatan daya saing bangsa.
Desentralisasi pendidikan merupakan salah satu model pengelolaan pendidikan yang menjadikan sekolah sebagai proses pengambilan keputusan dan merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta sumber daya manusia termasuk profesionalitas guru yang belakangan ini dirisaukan oleh berbagai pihak baik secara regional maupun secara internasional.[10] Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan di tanah air kita. Hal ini beralasan, karena sistem birokrasi selalu menempatkan “kekuasaan” sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses pengambilan keputusan. Sekolah-sekolah saat ini telah terkungkung oleh kekuasaan birokrasi sejak kekuasaan tingkat pusat hingga daerah bahkan terkesan semakin buruk dalam era reformasi saat ini.  Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak yang paling memahami realitas pendidikan berada pada tempat yang “dikendalikan”. Merekalah seharusnya yang paling berperan sebagai pengambil keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan sehari-hari yang menghadang  upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun, mereka ada dalam posisi tidak berdaya dan tertekan oleh berbagai pembakuan dalam bentuk juklak dan juknis yang “pasti” tidak sesuai dengan kenyataan obyektif di masing-masing sekolah.
Disamping itu pula, kekuasaan birokrasi juga yang menjadi faktor sebab dari menurunnya semangat partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dulu, sekolah sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat, dan merekalah yang membangun dan memelihara sekolah, mengadakan sarana pendidikan, serta iuran untuk mengadakan biaya operasional sekolah. Jika sekolah telah mereka bangun, masyarakat hanya meminta guru-guru kepada pemerintah untuk diangkat pada sekolah mereka itu. Pada waktu itu, kita sebenarnya telah mencapai pembangunan pendidikan yang berkelanjutan (sustainable development), karena sekolah adalah sepenuhnya milik masyarakat yang senantiasa bertanggungjawab dalam pemeliharan serta operasional pendidikan sehari-hari. Pada waktu itu, Pemerintah berfungsi sebagai penyeimbang, melalui pemberian subsidi bantuan bagi sekolah-sekolah pada masyarakat yang benar-benar kurang mampu.[11]
Pemerintah telah mengambil alih “kepemilikan” sekolah yang sebelumnya milik masyarakat menjadi milik pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokratik bahkan sentralistik. Sejak itu, secara perlahan “rasa memiliki” dari masyarakat terhadap sekolah menjadi pudar bahkan akhirnya menghilang. Peran masyarakat yang sebelumnya “bertanggungjawab”, mulai berubah menjadi hanya “berpartisipasi” terhadap pendidikan, selanjutnya, masyarakat bahkan menjadi “asing” terhadap sekolah. Semua sumberdaya pendidikan ditanggung oleh pemerintah, dan seolah tidak ada alasan bagi masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi apalagi bertanggungjawab terhadap penyelengaraan pendidikan di sekolah.
Berdasarkan pengalaman empiris tersebut, maka kemandirian setiap satuan pendidikan sudah menjadi satu keharusan dan merupakan salah satu sasaran dari kebijakan desentralisasi pendidikan saat ini. Sekolah-sekolah sudah seharusnya menjadi lembaga yang otonom dengan sendirinya, meskipun pergeseran menuju sekolah-sekolah yang otonom adalah jalan panjang sehingga memerlukan berbagai kajian serta perencanaan yang hati-hati dan mendalam. Jalan panjang ini tidak selalu mulus, tetapi akan menempuh jalan terjal yang penuh dengan onak dan duri. Orang bisa saja mengatakan bahwa paradigma baru untuk mewujudkan pengelolaan pendidikan yang demokratis dan partisipatif, tidak dapat dilaksanakan di dalam suatu lingkungan birokrasi yang tidak demokratis. Namun, pengembangan demokratisasi pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi demokratis dulu, tetapi harus dilakukan secara simultan dengan konsep yang jelas dan transparans.
Selanjutnya desentralisasi pendidikan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah maupun sekolah untuk mengambil keputusan terbaik tentang penyelenggaraan pendidikan di daerah atau sekolah yang bersangkutan berdasarkan potensi daerah dan stakeholders sekolah. Olah karenanya, desentralisasi pendidikan disamping diakui sebagai kebijakan politis yang berkaitan dengan pendidikan, juga merupakan kebijakan yang berkait dengan banyak hal. Paqueo dan Lammaert menunjukkan alasan-alasan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan yang sangat cocok untuk kondisi Indonesia, yaitu; (1) kemampuan daerah dalam membiaya pendidikan, (2) peningkatan efektivitas dan efesiensi penyelenggaraan pendidikan dari masing-masing daerah, (3) redistribusi kekuatan politik, (4) peningkatan kualitas pendidikan, (5) peningkatan inovasi dalam rangka pemuasan harapan seluruh warga negara.[12]
Sesuai dengan tuntutan reformasi dan demokratisasi di bidang pendidikan, pengelolaan pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari keinginan dan tujuan bangsa Indonesia dalam penyelenggaran pendidikan itu sendiri. Sebagai contoh dalam pendidikan dasar, propenas menyebutkan kegiatan pokok dalam upaya memperbaiki manajemen pendidikan dasar di Indonesia adalah:
1.    Melaksanakan desentralisasi bidang pendidikan secara bertahap, bijaksana dan profesional, termasuk peningkatan peranan stakeholders sekolah;
2.    Mengembangkan pola penyelenggaraan pendidikan secara desentralisasi untuk meningkatkan efesiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat;
3.    Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, seperti diversifikasi penggunaan sumber daya dan dana;
4.    Mengembangkan sistem insentif yang mendorong terjadinya kompetensi yang sehat baik antara lembaga dan personil sekolah untuk pencapaian tujuan pendidikan
5.    Memberdayakan personil dan lembaga, antara lain melalui pelatihan yang dilaksanakan oleh lembaga profesional.
6.    Meninjau kembali semua produk hukum di bidang pendidikan yang tidak sesuai lagi dengan arah dan tuntutan pembangunan pendidikan; dan
7.    Merintis pembentukan badan akreditasi dan sertifikasi mengajar di daerah untuk meningkatkan kualitas tenaga kependidikan secara independen.[13]
Atas dasar amanat seperti yang dirumuskan dalam propenas di atas, maka sangat jelas bahwa tekad bangsa Indonesia untuk mewujudkan sistem pendidikan secara desentralistik terkesan sangat kuat. Dengan sistem ini pendidikan dapat dilaksanakan lebih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat, di mana proses pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang paling dekat dengan proses pembelajaran (kepala sekolah, guru, dan orang tua peserta didik). Adanya otonomisasi daerah yang sekaligus disertai dengan otonomi penyelenggaraan pendidikan atau desentralisasi pendidikan, hendaknya dapat mencapai sasaran utama progam restrukturisasi sistem dan manajemen pendidikan di Indonesia. Restrukturisasi dimaksud antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut:
1.    Struktur organisasi pendidikan hendaknya terbuka dan dinamis, mencerminkan desentralisasi dan pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.
2.    Sarana pendidikan dan fasilitas pembelajaran dibakukan berdasarkan prinsip edukatif sehingga lembaga pendidikan merupakan tempat yang menyenangkan untuk belajar, berprestasi, berkreasi, berkomunikasi, berolah raga serta menjalankan syariat agama.
3.    Tenaga kependidikan, terutama tenaga pengajar harus benar-benar profesional dan diikat oleh sistem kontrak kinerja.
4.    Struktur kurikulum pendidikan hendaknya mengacu pada penerapan sistem pembelajaran tuntas, tidak terikat pada penyelesaian target kurikulum secara seragam per catur wulan dan tahun pelajaran.
5.    Proses pembelajaran tuntas diterapkan dengan berbagai modus pendekatan pembelajaran, peserta didik aktif sesuai dengan tingkat kesulitan konsep-konsep dasar yang dipelajari.
6.    Sistem penilaian hasil belajar secara berkelanjutan perlu diterapkan di setiap lembaga pendidikan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan pembelajaran tuntas.
7.    Dilakukan supervisi dan akreditasi. Supervisi dan pembinaan administrasi akdemik dilakukan oleh unsur manajemen tingkat pusat dan provinsi yang bertujuan untuk mengendalikan mutu (quality control). Sedangkan akreditasi dilakukan untuk menjamin mutu quality assurance) pelayanan kelembagaan.
8.    Pendidikan berbasis masyarakat seperti pondok pesantren, kursus-kursus keterampilan, pemagangan di tempat kerja dalam rangka pendidikan sistem ganda harus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.
9.    Formula pembiayaan pendidikan atau unit cost dan subsidi pendidikan harus didasarkan pada bobot beban penyelenggaraan pendidikan yang memperhatikan jumlah peserta didik, kesulitan komunikasi, tingkat kesejahteraan masyarakat dan tingkat partisipasi pendidikan serta kontribusi masyarakat terhadap pendidikan pada setiap sekolah.[14]
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa desentrali­sasi pendidikan pada hakekatnya berkorelasi positif terhadap peningkatan mutu lulusan lembaga pendidikan dan efesiensi pengelolaan pendidikan. Apabila sekolah dapat dikelola dengan optimal oleh personalia yang profesional, pengambilan keputusan dilakukan oleh pihak-pihak yang lebih dekat dan tahu tentang kebutuhan dan potensi sekolah, maka mutu pendidikan akan semakin menunjukan pada tingkat maksimal sesuai yang diharapkan.
B. Dampak Sentralisasi dan Desentralisasi Pendidikan
1. Dampak negatif sentralisasi pendidikan
Indonesia sebagai negara berkembang dengan berbagai kesamaan ciri sosial budayanya, juga mengikuti sistem sentralistik yang telah lama dikembangkan pada negara berkembang. Konsekuensinya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia serba seragam, serba keputusan dari atas, seperti kurikulum yang seragam tanpa melihat tingkat relevansinya baik kehidupan anak dan lingkungannya.
Konsekuensinya, posisi dan peran peserta didik cenderung dijadikan sebagai objek agar yang memiliki peluang untuk mengembangkan kreativitas dan minatnya sesuai dengan talenta yang dimilikinya. Dengan adanya sentralisasi pendidikan telah melahirkan berbagai fenomena yang memprihatinkan seperti :
1.    Totaliterisme penyelenggaraan pendidikan.
2.    Keseragaman manajemen, sejak dalam aspek perencanaan, pengelolaan, evaluasi, hingga model pengembangan sekolah dan pembelajaran.
3.    Keseragaman pola pembudayaan masyarakat.
4.    Melemahnya kebudayaan daerah.
5.    Kualitas manusia yang robotik, tanpa inisiatif dan kreativitas.
Dengan demikian, sebagai dampak sistem pendidikan sentralistik, maka upaya mewujudkan pendidikan yang dapat melahirkan sosok manusia yang memiliki kebebasan berpikir, mampu memecahkan masalah secara mandiri, bekerja dan hidup dalam kelompok kreatif penuh inisiatif dan impati, memeliki keterampilan interpersonal yang memadai sebagai bekal masyarakat menjadi sangat sulit untuk diwujudkan.
2. Dampak Positif Desentralisasi Pendidikan      
Dari beberapa pengalaman di negara lain, kegagalan desentralisasi diakibatkan oleh beberapa hal :
1.    Masa transisi dari sistem sentralisasi ke desintralisasi ke memungkinkan terjadinya perubahan secara gradual dan tidak memadai serta jadwal pelaksanaan yang tergesa-gesa.
2.    Kurang jelasnya pembatasan rinci kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan daerah.
3.    Kemampuan keuangan daerah yang terbatas.
4.    Sumber daya manusia yang belum memadai.
5.    Kapasitas manajemen daerah yang belum memadai.
6.    Restrukturisasi kelembagaan daerah yang belum matang.
7.    Pemerintah pusat secara psikologis kurang siap untuk kehiulangan otoritasnya.
Berdasarkan pengalaman, pelaksanaan desentralisasi yang tidak matang juga melahirkan berbagai persoalan baru, diantaranya :
1.      Meningkatnya kesenjangan anggaran pendidikan antara daerah, antar sekolah, antar individu warga masyarakat.
2.      Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan masyarakat (orang tua) menjadikan jumlah anggaran belanja sekolah akan menurun dari waktu sebelumnya, sehingga akan menurunkan motivasi dan kreativitas tenaga kependidikan di sekolah untuk melakukan pembaruan.
3.      Biaya administrasi di sekolah meningkat karena prioritas anggaran di alokasikan untuk menutup biaya administrasi, dan sisanya baru di distribusikan ke sekolah.
4.      Kebijakan pemerintah daerah yang tidak memperioritaskan pendidikan, secara kumulatif berpotensi akan menurunkan pendidikan.
5.      Penggunaan otoritas masyarakat yang belum tentu memahami sepenuhnya permasalahan dan pengelolaan pendidikan yang pada akhirnya akan menurunkan mutu pendidikan.
6.      Kesenjangan sumber daya pendidikan yang tajam di karenakan perbedaan potensi daerah yang berbeda-beda. Mengakibatkan kesenjangan mutu pendidikan serta melahirkan kecemburuan sosial.
7.      Terjadinya pemindahan borok-borok pengelolaan pendidikan dari pusat ke daerah.
Untuk mengantisipasi munculnya permasalahan tersebut di atas, disentrali­sasi pendidikan dalam pelaksanaannya harus bersikap hati-hati. Ketepatan strategi yang ditempuh sangat menentukan tingkat efektivitas implementasi disentralisasi. Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk tersebut ada beberapa hal yang perlu di perhatikan :
1.      Adanya jaminan dan keyakinan bahwa pendidikan akan tetap berfungsi sebagai wahana pemersatu bangsa.
2.      Masa transisi benar-benar di gunakan untuk menyiapkan berbagai halyang dilakukan secara garnual dan di jadwalkan setepat mungkin.
3.      Adanya kometmen dari pemerintah daerah terhadappendidikan, terutama dalam pendanaan pendidikan.
4.      Adanya kesiapan sumber daya manusia dan sistem manajemen yang tepat yang telah dipersiapkan dengan matang oleh daerah.
5.      Pemahaman pemerintah daerah maupun DPRD terhadap keunikan dan keberagaman sistem pengelolaan pendidikan, dimana sistem pengelolaan pendidikan tidak sama dengan pengelolaan pendidikan daerah lainnya.
6.       Adanya kesadaran dari semua pihak (pemerintah, DPRD, masyarakat) bahwa pengelolaan tenaga kependidikan di sekolah, terutama guru tidak sama dengan pengelolaan aparat birokrat lainnya.
7.      Adanya keiapan psikologis dari pemerintah pusat dari propinsi untuk melepas kewenangannya pada pemerintah kabupaten / kota.
Selain dampak negatif tentu saja disentralisasi pendidikan juga telah membuktikan keberhasilan antara lain :
1.      Mampu memenuhi tujuan politis, yaitu melaksanakan demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan.
2.       Mampu membangun partisifasi masyarakat sehingga melahirkan pendidikan yang relevan, karena pendidikan benar-benar dari oleh dan untuk masyarakat.
3.       Mampu menyelenggarakan pendidikan secara menfasilitasi proses belajar mengajar yang kondusif, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas belajar peserta didik.








III. P E N U T U P
A. Kesimpulan
1. Konsep dasar sentralisasi dan desentralisasi adalah Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat. Daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menu­­rut Undang-Udang. Menurut ekonomi manajemen sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada sejumlah kecil manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah. Kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama.
2. Sebagai dampak sistem pendidikan sentralistik, maka upaya mewujudkan pendidikan yang dapat melahirkan sosok manusia yang memiliki kebebasan berpikir, mampu memecahkan masalah secara mandiri, bekerja dan hidup dalam kelompok kreatif penuh inisiatif dan impati, memeliki keterampilan interpersonal yang memadai sebagai bekal masyarakat menjadi sangat sulit untuk diwujudkan.
B. Implikasi
Pendidikan yang bermutu sebagai harapan bangsa Indonesia tidak mungkin akan tercapai secara maksimal jika sistem sentralisasi tidak berubah menjadi desentralisasi. Desentralisasi yang dimaksudkan adalah pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah sesuai porsinya. Kemudian pelimpahan itu tidak lagi dicampuri oleh pihak pusat dengan berbagai dalih yang berujung pada politisasi pendidikan. Sebab politisasi pendidikan inilah yang akan membawa pada kehancuran pendidikan bangsa Indonesia. Tetapi tidak berarti pendidikan tidak boleh disentuh politik, namun sentuhan itu seharusnya untuk memajukan pendidikan.





















DAFTAR PUSTAKA
Farodis, Zian. Panduan Manajemen Pendidikan. Yogyakarta: Diva Press, 2011.
Hadiyanto.  Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2004
 Ilyasin, Mukhamad dan Nanik Nurhayati. Manajemen Pendidikan. Cet. 1; Yogya­karta: Aditya Media Publishing, 2012.
Komite Reformasi Pendidikan.  Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Nasional. Jakarta: Balitbang Depdiknas, 2001.
 Makawimbang, Jerry H.. Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2011.
Mulyasa, Dedy. Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing. Bandung: Remaja Rosda­karya, 2011
Musa, I.. Otonomi Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jurnal Pendi­di­kan Volume 2 No. 2 September 2001.
Paqueo, V. dan J. Lammert. Decentralization in Education. New York:  Education Reform dan Management Thematic Goup, 2000.
Purwanto, M. Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Cet. I; Bandung: Remaja Rosda Karya, 2010.
Sukarjo M.. Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Suryadi, Ace.  Mewujudkan Sekolah-sekolah yang Mandiri dan Otonom, disampai­kan pada Sosialisasi Pemberdayaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah Juni 2003.
Syafaruddin. Efektivitas Kebijakan Pendidikan. Cet. 1; Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Zambroni. Dinamika Peningkatan Mutu. Yogyakarta: Gavin Kalam Utama, 2011.








Desentralisasi merupakan kebijakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk melaksanakan dan mengurusi keperluan dirinya sendiri. Desentralisasi pendidikan di Indonesia setelah otonomi daerah mmemberi peluang untuk lebih cepat mengambil keputusan, meningkatkan partisipasi pelaksanaan pendidikan dan mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya pendidikan untuk memberdayakan masyarakat. Hal ini merupakan alasan krusial desentralisasi yang diprediksi memberikan manfaat bagi pengembangan sekolah.
Berdasarkan pengalaman, pelaksanaan desentralisasi yang tidak matang juga melahirkan berbagai persoalan baru, diantaranya :
1.    Meningkatnya kesenjangan anggaran pendidikan antara daerah, antar sekolah, antar individu warga masyarakat.
2.      Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan masyarakat (orang tua) menjadikan jumlah anggaran belanja sekolah akan menurundari waktu sebelumnya,sehingga akan menurunkan motivasi dan kreatifitas tenaga kependidikan di sekolahuntuk melakukan pembaruan.
3.      Biaya administrasi di sekolah meningkat karena prioritas anggarandi alokasikan untuk menutup biaya administrasi, dan sisanya baru didistribusikan ke sekolah.
4.      Kebijakan pemerintah daerah yang tidak memperioritaskan pendidikan, secara kumulatif berpotendsi akan menurunkan pendidikan.
5.      Penggunaan otoritas masyarakat yang belum tentu memahamisepenuhnya permasalahandan pengelolaan pendidikan yang pada akhirnya akan menurunkan mutu pendidikan.
6.      Kesenjangan sumber daya pendidikan yang tajam di karenakan perbedaan potensi daerah yang berbeda-beda. Mengakibatkan kesenjangan mutu pendidikan serta melahirkan kecemburuan sosial.
7.      Terjadinya pemindahan borok-borok pengelolaan pendidikan dari pusat ke daerah.



[1]Zambroni, Dinamika Peningkatan Mutu (Yogyakarta: Gavin Kalam Utama, 2011), h. 83.
[2]Zian Farodis, Panduan Manajemen Pendidikan (Yogyakarta: Diva Press, 2011), h. 7.
[3]Jeery H. Makawimbang, Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 1.
[4]Mukhamad Ilyasin dan Nanik Nurhayati, Manajemen Pendidikan (Cet. 1; Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2012), h. 7.
[5]M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Cet. I; Bandung: Remaja Rosda Karya, 2010), h.3.
[6]M. Sukarjo, Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 7-8.
[7]Dedy Mulyasa, Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), h. 2-3. 
[8]Mukhamad Ilyasin dan Nanik Nurhayati, Manajemen Pendidikan, h. 19.
[9]Syafaruddin, Efektivitas Kebijakan Pendidikan  (Cet. 1; Jakarta: Rineka Cipta, 2008),  h. 70.
[10]Hadiyanto,  Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di Indonesia  (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 63.
[11]Ace Suryadi, Mewujudkan Sekolah-sekolah Yang Mandiri dan Otonom, disampaikan pada Sosialisasi Pemberdayaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah Juni 2003.
[12] V. Paqueo dan J. Lammert, Decentarlization in Education ( New York:  Education Reform dan Management Thematic Goup, 2000),  h. 23.
[13]Komite Reformasi Pendidikan, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Nasional (Jakarta: Balitbang Depdiknas, 2001), h. 154.
[14] I. Musa, Otonomi Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jurnal Pendidikan Volume 2 Nomor 2 September 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar