Al-Muhkam Wa al-Mutasyabih
Revisi
Makalah
Telah
Dipresentasikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah
Ulum Qur’an
Semester I
Tahun Akademik 2012/2013
Oleh;
SURYANAGARA
NIM:80100212145
Dosen Pemandu:
Dr. H. Baharuddin HS, M.Ag.
DR. H. Sampo
Seha, M.Ag.
PROGRAM
PASCASARJANA
UIN ALAUDDINMAKASSAR
2013
I. PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dilihat dari segi usianya,
Penafsiran al-Qur’an termasuk yang paling tua dibandingkan dengan kegiatan
ilmiyah lainnya di dalam Islam. Pada saat al-Qur’an diturunkan lima belas abad
yang lalu, Rasulullah Saw. yang berfungsi sebagai mubayyin ( pemeberi
penjelas ) telah menjelaskan arti dan kandungan al-Qur’an kepada
sahabat-sahabatnya, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak difahami atau
sama artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasulullah Saw,
walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui,
sebagai akibat dari tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena
memang Rasul Saw, sendiri tidak menjelaskan semua kandungan al-Qur’an.[1]
Kalau pada masa Rasul Saw., para
sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka
setelah wafatnya mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang
mempunyai kemampuan semacam Ali bin Abi Thalib, Ibn Abbas, Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud.
Adapun
masalah cabang furu' agama yang bukan masalah pokok, ayat‑ayatnya ada yang
bersifat umum dan samar-samar yang memberikan peluang kepada para mujtahid yang
handal ilmunya untuk dapat mengembalikannya kepada yang tegas maksudnya muhkam
dengan cara mengembalikan masalah cabang kepada masalah pokok, dan yang bersifat
partikal ( Juz’i ) kepada yang bersifat unifersal ( Kulli ).[2]
Al-Qur’an yang merupakan sumber
hukum Islam, yang padanya semua permasalahan hidup dikembalikan memiliki
ayat-ayat yang jelas ( muhkamat ) dan sebagian ayatnya ada yang samara-samar (
mutasyabihat ). Oleh karena itu seseorang diperlukan kemampuan yang tinggi dan
mendalam untuk dapat memahami maksud ayat-ayat Qur’an dimaksud.
Dengan demikian, berbicara tentang
ayat-ayat muhkam dan mutasyabih di antara ayat-ayat al-Qur'an merupakan sebuah wacana
yang sangat menarik kita diskusikan bagaimana ayat-ayat ini merespon berbagai
budaya yang ada di era globalisasi ini hingga menjadi kajian yang kritis dan
transformatif dan dapat memberikan konstribusi pemahaman yang sangat mendalam
tentang ayat-ayat muhkam dan mutasyabih tanpa mengurangi subtansi yang
dimilikinya berdasarkan argumentasi dan rasionalisasi yang kuat untuk
mengantarkan kita kepada peningkatan wawasan, pikiran, dan keyakinan menyangkut
di dalam al-Qur'an yang universal, hingga melahirkan sebuah pengetahuan baru.[3]
B. Rumusan Masalah
Dari gambaran awal diatas, maka
ada beberapa permasalahan yang akan menjadi kajian khusus didalam makalah yang
kami susun ini , yaitu:
- Apa pengertian muhkam dan mutasyabih?
- Apa perbedaan muhkam dan mutasyabih di dalam ayat al-Qur'an ?
- Bagaimana sikap ulama terhadap ayat-ayat muhkam dan mutasyabih?
- Apa hikmah adanya ayat-ayat mutasyabih?
II.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
Kata muhkam secara etimologi
diambil dari kata hakama-yahkumu hukman- wahukumatan yang berarti
menetapkan dan memutuskan. Sedangkan Muhkam merupakan isim musytaq yang berarti
sesuatu yang dikokohkan. Ihkam al-kalam berarti mengokohkan perkataan dan
memisahkan berita yang benar dari yang salah, dari urusan yang lurus dari yang
sesat. Jadi al-kalam ahkam perkataan yang seperti itu sifatnya[4].
Kata mutasyabih berasal berasal
dari kata tasyabuh yang secara bahasa yang berarti keserupaan dan kesamaan yang
biasanya rneraba, membawa kepada
kesamaran antara dua hal. Tasyabaha dan isytabaha berarti dua hal
masing-masing menyerupai yang lainya.[5]
Secara istilah
para ulama berbeda pendapat pula merumuskan defenisi muhkam dan mutasyabih
sebagaiman yang telah dikemukakan di bawah ini:
1. Menurut Prof. Dr Abd al-Wahab Khlaf
Muhkam berarti sesuatu
yang menunjukan kepada artinya yang tidak menerima pembatalan dan pergantian jelas, sendirinya secara jelas, dan sama
sekali tidak mengandung ta'wil, artinya tidak menghendaki arti lain yang bukan
arti formalnya. Sedangkan Mutasyabih berarti lafal yang sifatnya sendiri tidak
menunjukkan pada arti maksudnya, dan tidak terdapat karinat luar yang
menjelaskanya.[6]
2. Menurut ahli sunnah
Muhkam adalah ayat yang bisa
dillihat pesanya dengan gamblang atau melalui ta'wil karena ayat yang perlu
dita'wil itu mengandung pengertian lebih dari suatu kemungkinan. Adapun
mutasyabih ayat-ayat yang pengertian pastinya hanya diketahui oleh Allah.
Misalnya saat datangnya hari kiamat dan maina huruf tahajji; yaitu huruf-huruf
yang terdapat pada awal surah seperti Qaf, Alif, Lam, Mim dan lain-lainya.
3. Menurut
Ibn Abbas
Muhkam adalah ayat yang
penakwilanya hanya mengandung suatu ma'na. Sedangkan mutasyabih, adalah ayat
yang mengandung pengertian bermacam-bermacam .[7]
4. Menurut
ulama Hanafiyah
Muhkam adalah ayat yang jelas
petunjuknya dan tidak mengandung naskah, sedangkan mutasyabih ialah yang samar
atau tersembunyi yang tidak diketahui ma'nanya secara akal dan naql atau hanya
Allah yang tahu maknanya.[8]
5. Menurut
imam al-Razi
Muhkam adalah ayat yang ditunjukan
ma'nanya yang kuat, yaitu lafal nash dan lafal dzahir. Mutasyabih ialah yang
tunjukan ma'nanya tidak kuat, yaitu mujmal, muawwal (harus dita'wil ) dan
musykil (sulit diketahui.)[9]
6.
Imam Ibn Hanbal
dan pengikut-pengikutnya
Muhkam adalah lafal yang bias
berdiri sendiri atau telah jelas dengan sendirinya tanpa membutuhkan keterangan
yang lain. Sedang lafal yang tidak dapat berdiri sendiri adalah lafal yang
mutasyabih, yang membutuhkan penjelasan arti maksudnya , karena adanya
macam-macam ta’wil terhadap ayat tersebut.[10]
7.
Imamul Haramain
Al-Juwaini
Muham ialah lafal yang tetap susunan , dan
tertibnya secara biasa, sehingga mudah difahami maksud dan artinya. Sedangkan
lafal mutasyabih ialah lafal yang makna tersusunnya tidak terjangkau oleh ilmu
bahasa manusia , kecuali jika disertai dengan adanya tanda-tanda / isyarat yang
menjelaskannya.
8.
Imam Ath-Thibi
Muhkam ialah lafal yang jelas
maknanya sehingga tidak mengakibatkan kemusykilan/ kesulitan arti. Sebab lafal
muhkam diambil dari lafal ihkam ( makhuzul
ihkaami ) yang berarti baik / bagus. Sedangkan lafal yang mutasyabih ialah
sebaliknya, yakni yang sulit difahami, sehingga mengakibatkan kemusykilan /
kesukaran.[11]
Dari beberapa defenisi yang
dikemukakan oleh para ulama di atas, maka kami dari penulis dapat menarik kesimpulan
bahwa ayat-ayat muhkam merupakan suatu ayat yang memiliki ma'na yang sangat
Jelas yang tidak Membutuhkan suatu pena’wilan dan muda dipahami maksudnya.
Sedangkan ayat mutasyabih ayat-ayat yang tidak memiliki ma'na yang jclas dan
membutuhkan pena'wilan dan kadang-kadang kepada Allah hanya disandarkan
pena'wilanya
B. Sebab-Sebab
Adanya Ayat Muhkamah dan Mutasyabihat
Secara
tegas dapat dikatakan, bahwa sebab adanya ayat muhkamah dan mutasyabihat adalah
karena Allah swt menjadikan demikian itu. Allah memisahkan / membedakan antara
ayat-ayat yang muhkam dari yang mutasyabihat, dan menjadikan ayat yang muhkam
sebagai bandingan ayat yang mutasyabihat. Allah swt. Berfirman dalam Q.S Ali
Imran/ 3: 7 yang berbunyi :
uqèd
üÏ%©!$# tAtRr&
y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$#
çm÷ZÏB ×M»t#uä ìM»yJs3øtC
£`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$#
ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB (
$¨Br'sù
tûïÏ%©!$#
Îû
óOÎgÎ/qè=è%
Ô÷÷y tbqãèÎ6®Kusù
$tB
tmt7»t±s?
çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#Írù's? 3
$tBur
ãNn=÷èt ÿ¼ã&s#Írù's?
wÎ) ª!$# 3
tbqãź§9$#ur
Îû
ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)t $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/
@@ä. ô`ÏiB
ÏZÏã
$uZÎn/u 3
$tBur
ã©.¤t HwÎ) (#qä9'ré&
É=»t6ø9F{$#
ÇÐÈ
Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada
kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi
Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat, Adapun orang-orang yang
dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian
ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk
mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan
Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan
tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang
berakal.
Dari ayat tersebut, jelas Allah
swt menjelaskan bahwa Dia menurunkan al-Qur’an itu ayat-aytnya ada yang
muhkamat dan ada yang mutasyabihat. Tapi yang belum jelas, apa sebab-sebab
adanya ayat muhkamah dan mutasyabihat itu ? Menurut kebanyakan ulama, sebab
adanya ayat-ayat muhkam itu sudah jelas, yakni sebagiman sudah ditegaskan dalam
ayat 7 surah Ali Imran di atas. Di samping itu al-Qur’an merupakan kitab yang
muhkam seperti keterangan ayat 1 surah Hud :[12]
!9#
4
ë=»tGÏ.
ôMyJÅ3ômé& ¼çmçG»t#uä
§NèO ôMn=Å_Áèù
`ÏB
÷bà$©! AOÅ3ym
AÎ7yz
ÇÊÈ
Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang
ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi
(Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu.
Juga
karena kebanyakan tertib dan susunan ayat-ayat al-Qur’an itu rapid an urut,
sehingga dapat dipahami umat dengan mudah, tidak menyulitkan dan tidak samara
artinya, disebabkan kebanyakan maknanya juga mudah dicerna akal pikiran.
Secara
rinci adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an adalah disebabkan tiga hal:
yakni karena kesamaran pada lafal, pada makna, dan pada lafal dan maknanya.[13]
a. Kesamaran
pada lafal.
Sebagian
adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an itu disebabkan karena kesamaran
pada lafal, baik lafal yang masih mufrad ( lafal yang belum tersusun
dalam kalimat ) ataupun yang sudah murakkab ( lafal yang sudah
tersusun dalam kalimat ).
Contoh kesamaran mufrad ialah
seperti adanya lafal : ابا dalam ayat 31 surah Abasa :
ZpygÅ3»sùur
$|/r&ur ÇÌÊÈ
(
dan buah-buahan serta rumput-rumputan ). Kata abban tersebut jarang
terdapat dalam al-Qur’an, sehingga asing kalau tidak ada penjelasan dari ayat
berikutnya, arti kata abban itu, sulit dimengerti umat tetapi ayat 32
surah Abasa menyebutka
$Yè»tG¨B
ö/ä3©9 ö/ä3ÏJ»yè÷RL{ur
ÇÌËÈ
(
untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.)
Sehingga baru jelas kalu yang
dimaksud dengan abban adalah rerumputan, seperti bayam, kangkung dan
sebagainya yang disenangi manusia maupun hewan.
b. Kesamaran Pada Makna Ayat.
Terkadang
terjadinya ayat mutasyabihat itu disebabkan karena adanya kesamaran pada
maknanya ayat. Contohnya seperti makna dari sifat-sifat-Nya Allah SWT, seperti
sifat Rahman Rahim-Nya, atau seperti sifat Qudrah Iradah-Nya, maupun
sifat-sifat lainnya. Dan juga seperti makna dari ihwal hari kiamat, kenikmatan
syurga, siksa kubur dan siksa neraka. Akal pikiran manusia tidak akan bias
menjangkau semua hal tersebut, sehingga makna-maknanya sulit mereka tangkap.
Bagaimana mereka mengerti arti maknanya kalau mereka belum pernah melihatnya.
c. Kesamaran Pada Lafal dan Makna Ayat.
Terkadang
adanya ayat mutasyabihat terjadi disebabkan kesamaran dalam lafal dan makna
ayat-ayat itu. Contohnya ayat 189 surat al-Baqarah :
….* 3
}§øs9ur É9ø9$# br'Î/
(#qè?ù's?
Vqãç6ø9$#
`ÏB
$ydÍqßgàß £`Å3»s9ur
§É9ø9$# Ç`tB 4s+¨?$# 3
ÇÊÑÒÈ…..
“ Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya[116], akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang
bertakwa. “
Orang
yang tidak mengerti adat istiadat bangsa Arab masa jahiliyyah tidak akan
fahamterhadap maksud ayat tersebut. Sebab kesamaran dalam ayat tersebut terjadi
pada lafalnya , karena terlalu ringkas
, juga terjadi pula pada maknanya, karena termasuk adat kebiasaankhusus orang
arab yang tidak mudah diketahui oleh bangsa-bangsa lain.
Jika
ayat tersebut diperluas sedikit dengan ditambah ungkapan
ان
كنتم محرمين بحج او عمرة
(
jika kalian sedang melakukan ihram untuk hajji atau untuk umrah )
Tentulah maksud ayat tersebut akan
lebih mudah dimengerti. Apalagi bila orang sudah mengerti berbagai syarat dan
rukun ihram, sehingga tidak akan ada masalah lagi baginya.[14]
C. Sikap Ulama Terhadap Ayat Muhkam Dan Mutsyabih
Berbagai penjelasan dan defnisi
kita baca di atas dapat diketahui dua hal yang sangat penting. Pertama, dalam
membicarakan muhkam tidak ada kesulitan. Muhkam adalah ayat yang jelas atau
rajib ma'nanya. Kedua, pembicaraan tentang mutasyabih menimbulkan masalah yang
perlu dibahas lebih lanjut. Apa sumber yang yang melahirkan mutasyabih, berapa
macam mutasyabih, dan bagaimana sikap ulama dalam menghadapinya.
Secara singkat dapat dikatakan
bahwa sumber tasyabuh atau mutasyabih adalah ketersembunyian maksud Allah dari
kalam-Nya. Secara rinci, dapat dikatakan bahwa ketersembunyiannya itu bisa
kembali kepada lafal atau kepada makna atau kepada lafal dan makna sekali:
Contoh. ketersembunyian pada lafal adalah
ZpygÅ3»sùur $|/r&ur Dan buah-buahan serta rumput-rumputan, lafal abun disini mutasyabih kerena ganjilnya
dan jarang digunakan. Kata abun di sini diartikan rumput-rumput berdasarkan
pemahaman dari ayat berikutnya: .(QS.Abasa (80):32).
$Yè»tG¨B
ö/ä3©9 ö/ä3ÏJ»yè÷RL{ur
ÇÌËÈ
(
untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.)
Ulama berbeda pendapat dalam
memahami maksud ayat-ayat muhkam dan mutasyabih. Segolongan berpendapat bahwa
ayat muhkam adalah memiliki ma'na yang terang dan jelas maksudnya, sedangkan
mutasyabih itu tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan bagi
orang-orang yang mendalam ilmunya harus berhenti menakwilkanya seraya
menyerahkaan Allah dengan menyatakan bahwa kami beriman kepadanya, semua itu
dari Tuhan kami. Pendapat ini dianut oleh paham ulama salaf dengan tokohnya
imam al-Malik.[15]
Pendapat tersebut mendapat
bantahan dari Abu Hasan al-Asyari dengan menyatakan bahwa dengan adanya firman
Allah ”warrasihuna fii i1mi” memberi pemahaman bahwa orang-orang yang
berilmu (cendikiwan) dapat takwil ayat-ayat mutasyabih. Pendapat yang senada
datang dari Abu Ishak al-Syiraziy yang mengatakan bahwa "Allah swt. Yang
menguasai ilmu bukanlah untuk dirinya sendiri, tetapi ulama juga mendapat
pujian karena ilmunya.[16]
Ar-Ragib al-Ashfahani mengambil
jalan tengah dalam menghadapi masalah ini Beliau membagi mutasyabih dari segi
kemungkinan mengetahui maknanya kepada tiga bahagian.
- Bahagian yang tak ada jalan mengetahuinya, seperti terjadi kiamat, keluar binatang dari burra dan separtinya.
- Bahagian manusia menemukan sebab-seba mengetahuinya, seperti lafal-lafal yang ganj il dari hukum-hukum yang sulit/rumit.
- Bahagian yang terletak antara dua urusan itu yang hanya diketahui oleh sebahagian ulama yang rasikh Ilmunya, tidak diketahuinya oteh sebahgian yang lain.[17]
Dalam bahagian ini kami dari
penulis akan membahas secara khusus ayat-ayat mutasyabih yang meryangkut
sifat-sifat Tuhan, yang dalam Al-Suyuti "ayata al-Shifat," dan
dalam istitah Shubhi al-Shalih" mutasyabih al-shifat". Ayat-ayat yang
masuk dalam kategori ini banyak. Di antaranya adalah:
- (QS. Thaha (20): 5)
ß`»oH÷q§9$# n?tã ĸöyèø9$#
3uqtGó$#
ÇÎÈ
(yaitu)
Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy.
- (QS.AL-An'am (61)
uqèdur ãÏd$s)ø9$# s-öqsù
¾ÍnÏ$t6Ïã
( ã@Åöãur
öNä3øn=tæ
ºpsàxÿym
#Ó¨Lym
#sÎ) uä!%y`
ãNä.ytnr&
ÝVöqyJø9$#
çm÷F©ùuqs?
$uZè=ßâ öNèdur
w
tbqèÛÌhxÿã
ÇÏÊÈ
Dan Dialah yang mempunyai
kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu
malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah
seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan
malaikat- Malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya.
- "Tangan Allah di atas tangan mereka."(QS AL-Fath (4S))- 10)
ßt
…….
«!$#
s-öqsù
öNÍkÉ÷r& 4 …………..
“ Tangan
Allah di atas tangan mereka “
Di dalam ayat-ayat ini terdapat
kata-kata "bersemayam", dan "di atas" yang dibasakan atau
dijadikan sifat bagi Allah. Kata-kata ini menunjukan keadaan, tempat, dan
anggota yang layak bagi mahkluk yang baharu.Karena dalam ayat-ayat tersebut
kata-kaia ini dibahasakan kepada Allah yang qadim (absolut). Maka sulit
dipahami maksud yang sebenarnya. Karena 'itu pula ayat-ayat tersebut dinamakan
"mutasyabih al-shifat". selanjutnya, dipertanyakan: apakah maksud
ayat-ayat ini dapat diketahui oleh manusia atau tidak?
Untuk menjawab prtanyaan ini,
Shubhi al-Shale membedakan pendapat ulama kedalam dua mazhab.
- Mazhab salaf, yaitu orang-orang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabih dan menyerahkan hakekatnya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi Allah dan mengimaninya sebagaiman yang diterangkan Al-Qur'an serta menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya dengan ayat-ayat ini kepada Allah, mereka disebut pula mazhab Mufawwidahab atau tafwidh.
- Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil. kepada makna yang lain dengan zat Allah. Karena itu mereka disebut pulah Muawwilah atau mazhab Takwil. mereka mema'nakan istiwa dengan ketinggian yang abstrak, berupa pengadilan Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan, kedatangan Allah diartikan dengan kedatangan perintah-Nya, Allah berada di atas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada di satu tempat"istilah dengan hak Allah, “waja” denganzat, "mata" dengan pengawasan, "tangan" dengan kekuasaan, dan "diri" dengan siksa. Dengan demikian sistem penafsiran ayat-ayat Mutasyabih yaitu ditempu oleh ulama khalaf semua lapal yang mengandung arti"cinta''muka"dan "malu" bagi Allah ditakwil dengan Ma’na majas terdekat [18] Dalam pada itu, ada ulama.yang membedakan mutasyabih menjadi tiga macam,
a.
Mutasyabih yang
sama sekali tidak dapat terjangkau oleh kemampuan akal manusia untuk
memahaminya, seperti mengetahui zat Allah, hakekat stifat-stfat-Nya, waktu
terjadinya hari kiamat, dan lain-lain
b.
Mutasyabih yang
tidak dapat diketahui oleh kebanyakan ulama atau ilmuan (apalagi orang ilmuan)
akan tetapi dapat dipahami oleh ulama tertentu atau mereka, adalah orang-orang
yang mendalami ilmunya.
c.
Mutasyabih yang
pada dasarnya setiap orang dapat mengetahui melalui metode pelajaran dan
pembahasan tertentu.[19]
Perbedaan-perbedaan pendapat dari
ulama diatas pada dasarnya, mereka tidak bertentangan, karena semua ayat
al-Qur'an bisa dikatakan muhkam, jika dimaksud adalah bahwa semua ayat-ayat
al-Qur'an susunan redaksi lafal dan keindahan urutan-urutan rasamnya sungguh
sempurna dan tidak sedikitpun ada keraguan di dalamnya.
Dengan demikian juga al-Qur'an
bisa dikatakan seluruh ayatnya Mutasyabih, sejauh yang dimaksud adalah
keserupaan dan keserasian antara ayat-ayat, baik dalam bidang balagan dan I'Jas
nya maupun karena kesulitan dan ketidak manpuan seseorang dalam menampakkan
kelebihan sebahagian suku katanya dari sebahagian yang lain.
D. Faedah Ayat Muhkam dan Mutasyabihat
Dalam
pembahasan ini perlu dijelaskan faedah / hikmah ayat-ayat Muhkam lebih dahulu
sebelum menerangkan faedah ayat-ayat Mutasyabihat.
1. Hikmah Ayat-Ayat Muhkamat
Adanya ayat-ayat Muhkamat dalam
Al-Qur’an, jelas sangat banyak faedah / hikmahnya bagi ummat manusia, sebagai
berikut :
a.
Menjadi rahmat
bagi manusia, khususnya orang yang kemampuan bahasa Arabnya lemah. Dengan
adanya ayat-ayat muhkam yang sudah jelas arti maksudnya, sangat besar arti dan
faedahnya bagi mereka.
b.
Memudahkan
manusia mengetahui arti dan maksudnya. Juga memudahkan mereka dalam menghayati
makna maksudnyaagar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya.
c.
Mendorong ummat
untuk giat memahami, menghayati dan mengamalkan isi kandungan al-Qur’an.
d.
Menghilangkan
kesulitan dan kebingungan ummat dalam mempelajari isi ajarannya , karena lafal
ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat menjelaskan arti maksudnya.
e.
Memperlancar
usaha penafsiran atau penjelasan maksud kandungan ayat-ayat al-Qur’an.
f.
Membantu para
guru, dosen, muballigh dan juru dakwah dalam usaha menerangkan isi ajaran
al-Qur’an dan tafsir ayat-ayatnya kepada masyarakat.
g.
Mempercepat
usaha tahfidzul Qur’an (menghafal ayat-ayat al-Qur’an). Sebab ayat yang
sudah diketahui artinya itu lebih mudah penghafalannya daripada ayat yang belum
diketahui arti maksudnya.[20]
3.
Hikmah
Ayat-Ayat Mutasyabih
Adanya
ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an membawa faedah/hikmah yang banyak juga.
Bahkan lebih banyak daripada hikmah ayat yang muhkamatdi atas. Hikmah adanya
ayat-ayat mutasyabihat itu ialah sebagai
berikut ;
a.
Rahmat Allah
swt. Sebab sifat dan zat Allh swt itu ditampakkan kepada manusia yang lemah
itu. Karena itu Allah menyamarkan sifatdan zat-Nya dalam ayat-ayat mutasyabihat
itu adalah jelas merupakan rahmat Allah swt yang besar bagi manusia. Jika tidak
disamarkan bias menjadi siksaan bagi mereka, terutama mereka yang tidak tahan
menzahirkannya. Begitu pula Allah merahasiakan kedatangan hari kiamat. Mereka
selalu dihantui rasa takut, jika mereka mengerti kapan akan mati. Karena itu
Allah swt merahasiakan kematian, hari kiamat dan sebagainya.
b.
Ujian dan
cobaan terhadap kekuatan iman umat manusia. Apakah dengan disamarkannya
sebagian isi al-Qur’an yang mutasyabih itu, masih akan tetap iman atau tidak ?
Karena itu ayat 7 Surat Ali-Imran disebutkan:
uqèd üÏ%©!$#
tAtRr& y7øn=tã
|=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB
×M»t#uä
ìM»yJs3øtC £`èd
Pé&
É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur
×M»ygÎ7»t±tFãB
( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷y
tbqãèÎ6®Kusù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB
uä!$tóÏGö/$#
ÏpuZ÷GÏÿø9$#
uä!$tóÏGö/$#ur
¾Ï&Î#Írù's?
3 $tBur ãNn=÷èt
ÿ¼ã&s#Írù's? wÎ)
ª!$#
3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$#
tbqä9qà)t
$¨ZtB#uä
¾ÏmÎ/ @@ä.
ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u
3 $tBur ã©.¤t
HwÎ)
(#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÐÈ
Terjemahnya:
Dia-lah yang
menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat
yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat, Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,
Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya
untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang
mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu
dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)
melainkan orang-orang yang berakal.”
c.
Membuktikan
kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan manusia,
masih ada kekurangan dan kelemahannya. Hal tersebut menunjukan betapa besar
kekuasaan Allah SWT, dan kekuasaan ilmu-Nya yang maha mengetahui segala hal,
meski terhadap hal-hal yang samara, rahasia, tersembunyi seperti yat
mutasyabihat. Manusia dan malaikat pun tidak dapat mengetahuinya. Hal ini
seperti ucapan para malaikat, terekam dalam ayat 32 surah Al-Baqarah :
(#qä9$s% y7oY»ysö6ß w
zNù=Ïæ
!$uZs9
wÎ)
$tB !$oYtFôJ¯=tã
( y7¨RÎ)
|MRr& ãLìÎ=yèø9$# ÞOÅ3ptø:$# ÇÌËÈ
Mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada
yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana."
d.
Mendorong umat untuk giat belajar, tekun
menalar dan rajin meneliti. Sebab dengan adanya ayat mutasyabihat dalam
al-Qur’an yang harus mereka pedomani itu mau tidak mau mereka harus giat
mempelajarinya, agar dapat mengerti terjemahannya, menghayati maksudnya,
sehingga dapat mempedomani isi ajarannya. Seandainya semua ayat al-Qur’an itu
muhkamat seluruhnya, tentu orang akan malas belajar, enggan memikirkan, tidak
mau meneliti. Semuanya sudah jelas, terang dan gambling tinggal menghayati dan
mengamalkan saja.
e.
Memperlihatkan
kemu’jizatan al-Qur’an, ketinggian mutu sastra dan balaghahnya, agar manusia
menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan
wahyu ciptaan Allah swt.
f.
Memudahkan
bacan, hafalan, dan pemahaman al-Qur’an. Sebab, adanya ayat-ayat mutasyabihat
yang sulit dimengerti dan sukar di nalaritu mengakibatkan orang harus lebih
banyak mencurahkan tenaga, pikiran, dan perhatiannya, sehingga dengan
sendirinya akan lebih meresapkan hasil-hasil usahanya itu yang pada gilirannya dapat
mempermudah segalanya.
g.
Menambah pahala
usaha umat manusia, dengan bertambah sukarnya memahami ayat-ayat mutasyabihat.
Sebab, semakin sukar kerjaan orang, akan semakin besar pahalanya.
h.
Mendorong
kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam. Sebab
adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an, mendorong orang-orang yang akan
mempelajarinya harus lebih dahulu mempelajri beberapa disiplin ilmu yang
terkait dengan berbagai isi ajaran al-Qur’an yang bermacam-macam, seperti ilmu
bahasa, kimia, fisika, matematika, ekonomi, astronomi, teknik, geografi,
kedokteran dan sebagainya.
Dengan adanya faedah dari
rahasianya ayat –ayat muhkamat dan mutasyabihat diturunkan oleh Allah swt,
dalam al-Qur’an maka kita diperbolehkan menta’wil ayat-ayat yang mutasyabihat
dengan ketentuan tidak keluar dari qaidah-qaidah penta’wilan ayat dan tidak
smpai membawa kita pada tingkat menyekutukan Allah swt.
III.
PENUTUP
Berdasarkan uraian yang kami tulis
di dalam makalah tersebut maka kami dapat menarik keimpulan sebagai berikut:
1.
Ayat muhkam
sesuatu yang dapat dipahami artinya atau maksudnya tanpa membutuhkan pena'wilan
sedangkan ayat-ayat mutasyabih berarti sesuatu yang makna atau maksudnya
dirahasiakan oleh Allah, yang membutuhkan pena'wilan
2.
Para ulama
dalam menanggapi sifat-sifat mutasyabih di dalam al-Qur’an menpunyai dua mazhab
pertama. Mazhab ulama salaf yang senantiasa mensucikan Allah dari
kenyataan-kenyataan yang mustahil ini dengan mengimani apa yang diterangkan
al-Qur'an, serta menyerehkan urusan hakikatnya kepada Allah sendiri. Kedua,
ulama khalaf memaknakan istiwa' dengan ketinggian yang berupa ma'nawi, yaitu
mengendalikan alam ini tanpa merasa paya mereka mama'nakan Allah berada di atas
hamba-hamba-Nya dengan: Allah maha tinggi, bukan berada disuatu tempat dengan
melalui pendekatan ta'wil.
3.
Ayat muhlkam
dan mutasyabih memiliki relepansi yang sangat kuat yang tak dapat dipisahkan
karna ayat-ayat muhkam merupakan atat untuk mengantarkan kita memahami dan
mepnapsirkan ayat-ayat mutasyabih yang memiliki ma'na yang samara-samar.
4.
Hikma yang bisa
dipetik dengan adanya ayat-ayat muhkam dan mutasyabih adalah manusia diharuskan
berupaya untuk mengungkap ma'na atau maksud apa yang dikandung di dalam
al-Qur-an sesuai dengan konteksnya, hingga mampu melahirkan pengetahuan baru
yang sesuai dengan kondisi yang melingkupinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Jalal, Ulumul Qur’an, ( Cet.II: Surabaya:Dunia Ilmu,2000)
Abuddin
Nata. Metodologi Studi Islam (Cet.
VI: Jakarta: Raja Grafindo Persada,2001)
Al-Qattan
Manna Khail, Mabahits FI Ulum Qur'an Cet.10: Mesir Maktabah Wahbah,1997
AI-Zarqani
Muhammad Abdul al-Azhim, Manahil al-Irfan Fii Ulum Qur'an, Cet, I Berut:
Daar Ilmiah, 2003
Al-Shali
Subkhi, Mabahist fi Ulum al-Qur'an,
Cet.VI1I; Beirut. Daar al-ilmi Li-Malayin al t. tht
Ash
shiddieqy M. Hasbi, Ulum Qu'ran, Cet. 11 jakarta: Bulan Bintang, 1972
Munawir
Achmad Warson, Kamus Arab Indonesia, Cet. XIV. Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997
Marzuki
Kamaluddin, Ulum Qur'an, Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya 1994
Ramli
Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, (Cet. IV; jakarta: Raja Grapindo Persada,2002)
[1] Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam (Cet. VI:
Jakarta: Raja Grafindo Persada,2001) h 211
[3] Manna Khalil Al-Qattan. Op.Cit. h 304
[4] Achmad Warson Munawir. Kamus Arab Indonesia, (Cet.XIV:
Surabaya:Pustaka Progresif, 1997) h 286
[5] Manna Khalil Al-Qattan. Lot.Cit.
[6] Abdul Jalal, Ulumul Qur’an, ( Cet.II: Surabaya:Dunia
Ilmu,2000) h 240.
[7] Abdul Jalal, Op.Cit. h,240
[8] Ibid. h 41
[10] Ibid. h 42
[12] Abdul Jalal, Op.Cit.
h,244
[13] Ibid. h 245
[14] Abdul Jalal, Op.Cit.
h,244
[15] Subkhi Al-Shalih, Mabahits
fi Ulumil Qur’an, ( Cet II;Beirut:Dar al-Ilm li Al-Malayin tth) h. 28
[16] Subkhi Al-Shalih, Op.Cit. h 285
[17] M.Hasbi As-Shiddieqy, Ulum Qur’an.
(Cet.II, Jakarta: bulan Bintang, 1972)
h. 167.
[18] Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, (Cet. IV;
Jakarta: PT Raja Grapindo, 2002) h.118
[19] Abdul Jalal, Op.Cit. h,244
[20] Abdul Jalal, Op.Cit.
h,265-267
[21] Abdul Jalal, Op.Cit.
h,268